Sabtu, 20 Februari 2016

Membangun Persepsi Positif

" You are only as good as you think you are"
Terkadang kita mudah untuk melakukan suatu pekerjaan yang ditugaskan karena kita merasa mampu melakukannya, namun di lain waktu ada kalanya kita merasa berat melaksanakan suatu tugas yang diamanahkan karena kita merasa tidak mampu melakukannya.  Ini semua dipengaruhi persepsi kita terhadap diri.
Istilah persepsi adalah suatu proses aktivitas seseorang dalam memberikan kesan, penilaian, pendapat, merasakan dan menginterpretasikan sesuatu berdasarkan keadaan atau informasi yang diterima.
Seseorang  yang memiliki rasa kurang percaya diri cenderung "under estimate" terhadap kemampuannya sebaliknya seseorang yang terlalu percaya diri cenderung "over estimate" terhadap kemampuannya.
Kedua sifat ini bisa diperbaiki dengan membangun persepsi yang positif terhadap diri, menilai diri secara objektif (kelebihan dan kekurangan yang dimiliki) dan meminta masukkan dari orang lain (keluarga dan teman-teman).
Ada kisah menarik dari sahabat Rasulullah saw, Hanzhalah ra. pernah bertutur, "Suatu hari kami menghadiri Majelis Rasulullah saw. Beliau menyampaikan nasihat kepada kami. Nasihat itu membuat hati kami lembut sehingga kami menangis mencucurkan air mata, seolah-olah kami melihat surga dan neraka, seperti yang diceritakan oleh beliau.
Sepulangnya dari Majelis Rasulullah saw., saya kembali ke rumah menemui anak-istri saya, kembali bercanda dengan anak-anak dan bercumbu dengan istri saya. Kemudian kami mulai membicarakan masalah keduniaan. Suasana di rumah berbeda sekali dengan suasana di Majelis Rasulullah saw. Saat di majelis tadi saya merasa takut. Kini saya merasa gembira. Tiba-tiba saya berkata dalam hati, “Hanzhalah, engkau kini telah menjadi munafik! Nyatanya, keadaanmu ketika berada di hadapan Rasulullah saw. jauh berbeda dengan keadaan sekarang ketika kamu berada di rumah.”
Saya merasa sangat sedih dan kecewa terhadap diri saya. Saya pun keluar rumah dan berkata, “Hanzhalah telah menjadi munafik!”
Ketika saya bertemu dengan Abu Bakar, saya terus berkata demikian. Abu Bakar berkata, “Subhanallah! Apa yang engkau katakan? Sekali-kali Hanzhalah bukanlah seorang munafik.”
Saya berkata, “Ketika saya mendengar nasihat Nabi tadi, saya merasa surga dan neraka betul-betul di hadapan saya. Namun, ketika pulang bertemu dengan keluarga, saya melupakan kampung akhirat.”
Abu Bakar ra. berkata “Kalau begitu, keadaan saya juga demikian.”
Kemudian kami berdua menghadap Rasulullah saw. Saya berkata, “Ya, Rasulullah, saya telah menjadi orang munafik!”
Nabi saw. bertanya. “Apa yang telah terjadi?”
Saya menjawab, “Ya, Rasulullah, jika kami berada di majelismu dan engkau menceritakan tentang surga dan neraka kepada kami, kami merasa takut. Namun, jika kami kembali ke rumah menjumpai anak-istri kami, bercanda  dan bermain bersama mereka, kami melupakan surga dan neraka.”
Mendengar penjelasan saya, Nabi saw.  bersabda, “Demi Allah Yang jiwaku ada di tangan-Nya, jika setiap saat keadaanmu seperti ketika berada di dekatku, dan terus berzikir, niscaya para malaikat akan mengucapkan salam kepadamu, baik kalian berada di atas tempat tidur maupun di jalanan. Akan tetapi, wahai Hanzalah yang demikian itu jarang terjadi.” (HR Muslim).
Sahabat Rasulullah saw, Hanzalah ra membangun persepsi positif dengan sifat wara'nya penuh kehati-hatian terhadap kehidupan dunia.
Dengan membangun persepsi positif, akan melahirkan energi positif pula, sehingga  beban yang berat akan berubah menjadi ringan, problema yang sulit akan mudah teratasi. Seperti kisah yang disampaikan oleh Syaikh Mustafa Masyhur
Diceritakan oleh Syaikh Mushthafa Masyhur, seorang ikhwan bercerita saat kami mendekam dalam penjara, yang mana berkat karunia Allah kisah ini memiliki pengaruh yang baik dan lestari bagi kami. Ia menuturkan, "Ada sorang penguasa diktator dan zalim, yang merasa disudutkan oleh seorang yang shalih, lalu ia ingin membalas dendam atas sakit hati dan kemurkaanya dengan menjebloskan orang ini kedalam penjara agar merasakan kesedihan dan penderitaan. Setelah beberapa hari Ia mengutus utusannya kepenjara untuk menginformasikan penderitaan dan kesedihan orang ini kepadanya sehingga ia merasa lega dan puas. Ketika tiba di penjara sang utusan mendapatkan orang ini dalam keadaan amam, damai dan bahagia sehingga ia pun kaget lalu bertanya, " Seharusnya kamu sedih dan gelisah, tetapi mengapa justru kamu kelihatannya senang dan bahagia, apa sebabnya sehingga kamu bisa berbahagia seperti ini?"
Orang shalih itu menjawab," Sesungguhnya setiap hari aku selalu minum obat yang terdiri dari tujuh komposisi yang menjadikanku sebagaimana yang kamu lihat". Utusan itu bertanya, "Obat apakah itu? Dan apakah ketujuh komposisi itu?" Ia menjawab,
Komposisi pertama adalah keyakinan kepada Allah dengan sepenuhnya, dimana ini menjadikanku menyakini bahwa semua yang ditaqdirkan oleh Allah untukku itu lebih baik bagiku, meskipun tampak sebagian sesuatu yang buruk. "Boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui".(Albaqarah: 216)
Komposisi kedua: Saya menyadari bahwa taqdir Allah itu pasti akan terjadi dan tidak ada tempat untuk berlariserta kemampuan untuk menolak taqdir itu. Jadi kewajiban saya hanya ridha terhadap ketentuan ini dan tidak merasa bersempit dada  terhadapnya.
Komposisi ketiga: Keadaan saya sekarang adalah ujian dari Allah dan keberhasilan melalui ujian ini adalah dengan bersikap sabar dan mengharap pahala Allah serta keinginan yang besar bahwa Allah akan mengantikan keburukan ini dengan kebaikan baik di dunia maupun akhirat. Sehingga dengan begitu kesedihan dan kegoncangan bisa hilang dari diri saya, dan saya bisa melakukan ibadah, tidur,dan makan dengan penuh ketenangan dan kedamaian.
Komposisi keempat: Bila saya tidak bersabar, maka keuntungan apa yang bisa saya petik dari sikap ini? Dan jawaban untuk pertanyaan ini sangat jelas, yaitu bertambahnya kesedihan diatas kesedihan dan penderitaan diatas penderitaan sehingga menjadikan pemiliknya semakin mengalami kesedihan dan kegoncangan jiwa serta tidak akan bisa menikmati tidur, makan dan ibadahnya.
Komposisi kelima: Saya yakin disana ada orang yang mengalami penderitaan yang lebih berat dari penderitaan saya ini, sehingga saya memuji Allah atas penderitaan yang saya alami ini. Dan disebutkan dalam perumpamaan, "Barang siapa melihat musibah orang lain, akan menjadi ri gan musibah yang menimpanya".
Komposisi keenam: Saya menyadari musibah yang menimpaku tidak mengusik agamaku, karena musibah yang sesungguhnya adalah musibah yang menimpa agama dengan mengalami kesesatan, kefasikan dan kekafiran. Sedangkan musibah yang menimpa harta, anak atau fisik, maka semuanya itu adalah ringan dan dampaknya juga ringan bila dibandingkan debgan musibah yang menimpa agama kita dan dampak buruk dari musibah ini. Karenanya Rasulullah saw mengarahkan agar kita senantiasaberdoa: "Ya Allah, janganlah Engkau menjadikan musibah ini menimpa agama kami".
Komposisi ketujuh: Dan terakhir dari waktu ke waktu saya selalu menunggu pembebasan dari Allah, karena semua urusan ini berada ditangan Allah dan kekalnya satu keadaan ini merupakan salah satu hal yang mustahil. "Dan masa (kejayaaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)" (Ali Imran: 140)
Ketika utusan itu kembali  dan menceritakan apa yang ia lihat dan ia dengar, penguasa itu berkata, "Bebaskanlah ia, karena saya tidak akan bisa menimpakan penderitaan kepadanya dan orang-orang sepertinya".
Demikianlah persepsi positif akan menjadikan seseorang lebih siap, lebih dewasa dalam mengatasi masalah. Memandang masalah yang berat menjadi ringan, mengubah kesedihan menjadi kebahagiaan, ridha terhadap ketentuan yang diberikan Allah, sehingga melihat semua itu lebih baik.
Sebagai penutup, ada do'a yang diajarkan oleh sahabat Rasulullah saw, Abu Bakar Siddiq ra:
اللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِى مِنْهُمْ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ وَاغْفِرْ لِى مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ
Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka.
Wallahu a'lam bi sawwab

Senin, 08 Februari 2016

Narasikan Hidup Kita

"Kopi tanpa narasi hanya air yang berwarna hitam" (Mas pepeng)
Seperti juga kehidupan, perlu dinarasikan agar lebih "Hidup" dan Berwarna"
Menarasikan kehidupan bisa dilakukan dengan cara mengungkapkan rasa, baik lewat tulisan maupun kata-kata. Diantara kita ada yang begitu bijak mengungkapkan perasaannya tetapi ada juga yang gagap, namun begitu kadang yang gagap sangat menyentuh hati ketika menuangkan lewat tulisan.
Kadang kita sulit untuk mengungkapkan apa yang kita rasakan, maka belajarlah untuk menuangkan rasa. Terlebih untuk hal positif yang dapat menambah kebaikkan.
Seperti hadist Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang shahih dari Anas bin Malik:
Ada seorang laki-laki berada di dekat Nabi Shalallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian kepadanya lewat seorang yang lain. Laki-laki yang di dekat Rasulullaah Shalallaahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai Rasulullaah Shalallaahu ‘alaihi wa sallam! Sungguh aku mencintainya.” Maka Rasulullaah Shalallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau sudah memberitahukannya?” Ia menjawab, “Belum” Rasulullaah Shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Beritahukanlah kepadanya!” Kemudian ia mengikutinya dan berkata, “Sungguh aku mencintaimu karena Allah.” Laki-laki itu pun berkata: “Semoga engkau dicintai Allah, yang karena-Nya engkau mencintaiku.”
Begitulah Rasulullah saw mengajarkan kita, untuk menarasikan apa yang kita rasakan untuk menambah kecintaan diantara kita. Memuji, mengapresiasi seseorang tentang capaiannya. Tentu hidup akan menjadi lebih hidup.
Mungkin kita bisa belajar dari Harun Ibn Abdillah Al Bagdadi dalam menarisakan kisahnya,  hal ini tidak lain agar kita bisa memetik hikmah dari kisah Beliau.
Inilah yg dikisahkan Harun Ibn Abdillah Al Bagdadi. Disuatu larut malam pintuku diketuk orang. Aku bertanya : siapa?. Suara lirih diluar menjawab, " Ahmad. Kuselidik " Ahmad yg mana?" . Nyaris berbisik kudengar : "Ahmad Ibn Hambal. Subhanallah itu Guruku.
Kubuka pintu dan Beliaupun masuk dengan langkah berjingkat. Kusilakan duduk maka beliau hati-hati agar kursi tak berderit.
Kutanya :" ada urusan sangat pentingkah sehingga Engkau duhai  guru, berkenan mengunjungiku dimalam selarut ini?. Beliau tersenyum.
"Maafkan aku duhai Harun", ujar Beliau dg halus dan pelan. "
Aku terkenang bahwa engkau biasa masih terjaga meneliti hadist diwaktu semacam ini. Kuberanikan untuk datang karena ada yg menganjal dihatiku sejak siang tadi ,  Aku terperangah " apakah hal itu tentang diriku? .  Beliau mengangguk.
"Jangan ragu," ujarku sampaikanlah wahai Guru. Ini aku mendengarkanmu!"
"Maaf ya Harun," ujar Beliau" tadi siang kulihat engkau sedang mengajarkan murid-muridmu. Kau bacakan hadist utk mereka catat. Kala itu mereka tersengat terik matahari, sedang dirimu teduh ternaungi bayangan pepohonan. Lain kali jangan begitu duhai Harun, duduklah dalam keadaan yang sama, sebagaimana muridmu duduk.
Aku tercekat tak sanggup menjawab. Lalu beliau berbisik pamit undur diri. Kemudian melangkah berjingkat, menutup pintu hati-hati. Masya Allah inilah guruku yang mulia Ahmad Ibn Hanbal. Akhlak indahnya sangat terjaga dalam memberikan nasehat dan meluruskan khilafku. Beliau bisa saja menengurku didepan para murid. Toh beliau guruku yang berhak utk itu. Tetapi tak dilakukanya demi menjaga wibawaku. Beliau bisa saja datang sore, bagda magrib atau isya mudah baginya. Tapi itu tdk dilakukannya demi menjaga rahasia nasehatnya.
Kita bisa memahami dari kisah diatas  bagaimana Imam Ahmad Ibn Hambal menarasikan  nasehatnya dengan sangat hati-hati kepada sang murid. Sehingga sang muridpun menyadari kekhilafannya.
Kisah ini sampai ke generasi kita karena sang murid "Harun Ibn Abdillah" menarasikannya lewat tulisan Beliau. Maka kitapun tahu bagaimana adab menasehati seseorang dengan bijaksana.
Hal yang mungkin kerap kita lupakan yaitu bagaimana menarasikan diri kita didepan Allah swt yang Maha diatas segala Maha. Dalam berdoa  kepada Allah swt tidak jarang kita langsung memohon kepadaNya tanpa ada narasi sebelumnya. Padahal ada asmaul husna yang di sunnahkan ketika kita berdoa. Alangkah menyentuhnya sebuah doa ketika kita menarasikan diri kita yang lemah ini didepan Allah Yang Maha Kuat.
Ya Allah kami hambaMu yang lemah tiada berdaya  dalam mengatasi masalah kehidupan ini maka ya Allah Yang Maha Kuat berilah kami kekuatan untuk bisa mengatasi segala cobaan, maka ya Allah yang Maha Penolong tolonglah kami dalam menghadapi musibah ini..
Adapun manfaat menarasikan kehidupan:
1. Untuk berbagi pengalaman dengan sesama.
2. Mengambil hikmah dari pengalaman orang lain.
3. Mengasah diri untuk mengungkapkan apa yang dirasakan.
4. Berbagi ilmu, agar orang lain dapat mengambil pelajaran tanpa harus mengalami kejadian yang tidak menyenangkan.
5. Menjadi orang yang bermanfaat untuk sesama.
Wallahu a'lam bissawab...

APA KABAR JIWA

Apa kabar Jiwa Masihkah kau terwarnai  dengan bekasan teduh Ramadhan Atau engkau tak sadar   pergi sedikit menjauh dari semangat  yang kau p...